Sepatu Wanita Cermin Rasa Kurang dan Ketidakpuasan
Sepatu Wanita sebenarnya hanya berfungsi sebagai alas kaki, tetapi secara filosofis sepatu juga mencerminkan eksistensi wanita dengan tuntutan kecantikannya ?
Sepatu wanita memiliki perkembangan yang sangat unik dalam peradaban manusia. Dimulai dengan sepatu dari bahan kulit kayu saat manusia masih hidup di gua-gua, kemudian berubah menjadi simbol status bagi para wanita di kalangan kerajaan dan kaum bangsawan di abad pertengahan. Kini, meskipun dibuat dari berbagai aplikasi bahan-bahan hasil teknologi modern sepatu wanita masih tetap mengemban fungsi sebagai status simbol, tetapi lebih cenderung menjadi bagian dari fashion yang penting bagi wanita.
Sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban manusia, sepatu wanita yang semula hanya melulu berfungsi melindungi telapak kaki dari duri dan kerikil tajam juga bertambah memiliki fungsi identitas bagi pemakainya. Hal itu berlaku sejak di jaman batu hingga abad pertengahan sampai kini di abad 21. Tentu saja, meskipun
bagian-bagiannya dibuat dari bahan yang berbeda-beda, tetapi di jaman masing-masing akan selalu terdapat sepatu yang didisain secara khusus untuk menunjukkan dan melegitimasi status sosial penggunanya.
Bagaimana perkembangannya sampai menjadi perangkat fashion bagi wanita ?
Jika di abad pertengahan sepatu Chopine yang didisian dengan hak tinggi hanya boleh dipakai oleh para wanita di kalangan kerajaan dan bangsawan, kini sepatu wanita keluaran rumah mode rancangan disainer terkenal hanya bisa dipakai oleh para wanita dari kalangan high class. Pesatnya perkembangan di dunia fashion dimana sepatu wanita juga menjadi salah satu bagian penting, telah ikut mengubah fungsi sepatu yang hanya sebagai alas kaki maupun status sosial penggunanya.
Karena dalam pemahaman di dunia fashion, sepatu wanita bukan satu-satunya perangkat yang bisa menentukan penampilan seorang wanita secara optimal. Sepatu harus bisa “berkolaborasi” bahkan harus bisa “berkompromi” dengan perangkat fashion lainnya agar secara sinergis bisa menciptakan efek penampilan yang prima bagi seorang wanita. Di segi “internal”-nya, sepasang sepatu juga harus bisa memenuhi tuntutan aspek keamanan dan kenyamanan.
Dunia fashion juga bergerak semakin cepat karena terkorelasi dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan dihasilkan beragam material baru sebagai bahan-bahan kebutuhan pembuatan sepatu. Teknologi juga memberikan dukungan kepada para disainer untuk bekerja lebih cepat dan efisien, sehingga bisa merancang lebih banyak model sepatu wanita. Akibatnya masa daur hidup sebuah model sepatu semakin menjadi lebih singkat, kini semakin banyak sepatu wanita yang dijual tidak saja dengan harga murah, melainkan murah dan berkualitas.
Sementara di sisi konsumen, kebutuhan menggunakan sepatu juga berubah bukan lagi didasarkan pada tuntutan fungsinya sebagai alas kaki, melainkan lebih cenderung sebagai kebutuhan untuk tampil lebih elegan, cantik dan menarik. Para wanita yang kurang memiliki kesadaran fashion seringkali memahami secara “terbalik” terhadap fungsi dan tujuan sepatu yang dibutuhkannya.
Mereka berangkat ke mall atau browsing di internet untuk membeli sepasang sepatu bukan disebabkan kakinya merasa sakit karena tidak menggunakan alas kaki. Ironisnya yang terjadi justru terbalik, karena mereka ingin merasa sakit atau sedikitnya ingin terkilir dan terjatuh maka membeli sepasang alas kaki yang menjadi ikon kecantikan dan dinamakan Stiletto high heels. Mereka tidak memilih sepatu wanita yang aman, melainkan justru “membeli resiko”.
Tentu saja hal ini hanyalah gambaran ekstrim bagaimana para wanita yang tidak mampu mengembangkan kesadarannya tentang fashion akhirnya menjadi korban industri mode. Karena sebenarnya di dunia fashion tidak pernah ada peraturan, ketentuan atau perundang-undangan yang menyebutkan bahwa untuk bisa tampil cantik wanita harus menggunakan sepatu berhak tinggi dengan tumit berujung runcing.
Mindset yang dikembangkan produsen untuk mendongkrak penjualan produk mereka kadang-kadang langsung diterima konsumen tanpa pertimbangan secara rasional. Keinginan untuk tampil lebih menarik dan cantik merupakan dorongan naluriah yang menjadi kodrat bagi para wanita. Tetapi kelemahan ini bisa diantisipasi jika wanita benar-benar memahami dan mengembangkan kesadaran fashion mereka.
Artikel ini sebenarnya hanya bertujuan untuk mengantar pembaca memahami sepasang sepatu unik yang didisain mahasiswi seni asal Afika Selatan, Leanie van der Vyver yang pembuatannya dilakukan bekerjasama dengan seorang ahli sepatu asal Belanda, Rene van den Berg. Karya Leanie pernah dipublikasikan oleh dornob.com dan diunggah ke YouTube.com, 10 Okt 2012.
Sepatu yang diberi nama “Scary Beautiful” tersebut dirancang Leanie untuk melengkapi thesisnya sebagai tugas akhir di Gerrit Rietveld Academi, Amsterdam, Belanda. Bahkan sepatu wanita ini meraih nominasi untuk penghargaan desain bergengsi Gerrit Rietveld yang diadakan kampusnya itu. Jadi, sepatu ini bukan dirancang untuk kepentingan popularitas atau karena hasil pekerjaan iseng seorang disainer.
Tetapi dibalik penampilan “Kecantikan Menyeramkan” yang ekstrim itu, tersimpan filosofi cukup dalam tentang wanita dan kecantikan yang direfleksikan pada sepatu sebagai salah satu perangkat fashion. Disain itu merupakan kritik terhadap industri fashion yang sering mengagung-agungkan kesempurnaan penampilan wanita. Sehingga membuat wanita merasa terus menerus tidak pernah merasa sempurna jika tidak menggunakan produk fashion terbaru.
Kondisi seperti itu, menurut Leanie, membuat para wanita tidak pernah merasa bersyukur kepada Tuhan atas kondisi tubuh yang mereka miliki. “Aku menulis thesis tentang bagaimana manusia sudah mempermainkan Tuhan dengan tubuh mereka. Mereka secara terus-menerus mencari kesempurnaan, dan kesempurnaan ini sudah mencapai klimaks dalam industri fashion dan kecantikan yang ditandai sudah tidak ada sepatu dengan hak yang bisa lebih tinggi,” jelas Leanie seperti yang pernah dikutip Daily Mail.
Manusia atau dalam hal ini khususnya para wanita memang memiliki kodrat untuk selalu tidak pernah merasa puas terhadap dirinya sendiri dan terhadap apa yang dimilikinya. Jika kemudian para wanita selalu berusaha untuk menjadi lebih cantik dan lebih menarik, maka dorongan itu pada dasarnya berasal dari perasaan mereka yang selalu merasa kurang cantik.
Perasaan selalu merasa kurang cantik ini bersifat universal. Sejak para wanita masih tinggal di gua, berpakaian kulit binatang dan memakai sepatu dari kulit pohon, sampai di jaman moden yang menyediakan beragam kebutuhan fashion secara lengkap, mereka secara naluriah selalu berupaya untuk tampil lebih cantik dengan menggunakan segala sumber daya yang ada di jaman mereka.
Ironisnya lagi, kecantikan itu bersifat relatif dan memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Cantik menurut Suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur adalah bila seorang wanita memiliki cuping telinga yang panjang, sehingga para wanita disana menggantungkan gelang besi di telinga mereka. Jumlah gelang tersebut ditambah setiap tahun sampai telinga menjulur sejajar dengan lengan mereka.
Sementara para wanita Suku Kayan di Myanmar melilitkan gelang dari kuningan di leher mereka sejak berumur 5 tahun dan seperti wanita Dayak Kenyah, mereka menambahkan jumlah gelang tersebut setiap tahun sampai leher mereka memanjang menyaingi leher jerapah. Leher panjang itulah refleksi kecantikan bagi mereka, meskipun untuk mendapatkannya harus merusak struktur tulang-tulang pundak mereka.
Kecantikan bagi para wanita Suku Mursi berbeda lagi. Bukan telinga panjang atau leher panjang melainkan bibir yang lebar. Para wanita yang tinggal di benua Afrika ini mulai “menindik” bibir bawah anak-anak gadis mereka setahun menjelang pernikahan. Kemudian mengganjalnya dengan piring yang terbuat dari tanah liat dengan ukuran yang disesuaikan tingkat “kemelarannya”. Gadis yang memiliki bibir paling lebar, dialah yang paling cantik. Untuk menikahinya diperlukan puluhan ekor sapi sebagai mas kawin.
Para wanita Suku Dayak Kenyah, Suku Kayan dan Suku Mursi ini sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana mungkin sepatu dengan hak tinggi bisa membuat seorang wanita menjadi lebih cantik dan menarik ? Sama halnya dengan para fashionita di jaman modern, mereka juga tak bisa membayangkan bagaimana telinga yang panjang, leher tinggi dan bibir lebar bisa membuat seorang wanita menjadi cantik ?
Dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa membuat wanita agar nampak menjadi lebih cantik pada dasarnya bermula dari perasaan tidak pernah puas terhadap keadaan tubuh mereka apa adanya. Leanie mengungkapkan sebagai komentar atas hasil disainnya yang “nyentrik” itu dengan kalimat : "Hanya menjadi manusia tidak pernah merasa cukup baik. Yang sangat jelas bahwa setiap orang selalu tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki sejak lahir. Mulai dari mereka yang menjadi penghuni gua di jaman prasejarah sampai manusia modern yang telah berevolusi dan dianggap memiliki tubuh lebih sempurna.”
Maka para wanita yang tidak pernah puas terhadap apa yang telah mereka miliki itu rela melakukan apa pun agar bisa nampak lebih cantik dan menarik, bahkan sampai tindakan bersifat ekstrim dan yang ujung-ujungnya bisa berdampak merusak apa yang telah mereka miliki sebelumnya. Paling tidak, pesan yang memotivasi Leanie untuk mendisain sepatu nyentrik ini bisa mengingatkan para wanita agar bisa menyikapi perkembangan model sepatu di dunia fashion secara proporsional.
Sehingga tidak perlu harus mengorbankan kaki untuk sepasang sepatu, melainkan mampu memilih dan memanfaatkan jenis dan model sepatu untuk meningkatkan nilai penampilan agar lebih fashioned, menarik dan cantik, sekaligus untuk melangkah lebih aman dan nyaman.
No comments:
Post a Comment